Pages

Jumat, 14 September 2012

Pertempuran Hati


        Laras duduk diam dikursinya. Tidak ada sepatah katapun terucap dari bibirnya. Kepalanya terus menunduk seakan ada beban berat di kepalanya. Tubuhnya tampak tidak terawat. Rambutnya yang dulu selalu terurai indah kini tampak kusam dan berantakan. Matanya tampak sayu, pandanganya kosong, tak ada keceriaan sedikitpun diwajahnya.Tiba-tiba terdengar sebuah suara.
        “Huh! Jadi beginilah takdir seorang Ayu Larasati Purnomo?, menyedihkan.” kata sosok wanita yang kini ada di hadapan Laras. Laras mengangkat kepalanya perlahan lahan. Ia mendapati sesosok wanita dihadapannnya. Wajahnya sangat mirip denganya. Matanya menatap Laras dengan pandangan mengejek. Wanita itu tersenyum sinis.
        “Mana Laras yang dulu selalu mendapatkan apapun yang diinginkan, Laras yang selalu bangga dengan kekayaan orangtuanya, Laras yang selalu memikirkan diri sendiri, Laras yang populer di kampus, Laras yang...”
        “cukup!!, siapa kau? tau apa kau tentang aku?.” Laras berteriak dengan marah. Wanita itu kembali tertawa.
        “Siapa aku?kenapa kau ingin tau siapa aku ini?. Jadi seperti inilah kau sekarang?. Mana kekayaan yang dulu begitu kau bangga banggakan itu?. Mana sahabat-sahabatmu yang dulu selalu membelamu?. Mana kekasihmu yang dulu selalu melontarkan kata kata cinta untukmu?. Tidak ada. Mereka semua meninggalkanmu, mereka tak pernah tulus kepadamu, mereka hanya memanfaatkanmu. Kau sekarang sendirian. Tak punya siapapun.hahaha...”
        “Tidak!, mereka tidak meninggalkanku, mereka hanya...hanya....” kata Laras terbata-bata.
        “Hanya apa? bahkan orangtuamupun meninggalkanmu, mungkin kau memang anak yang tidak diharapkan untuk lahir kedunia, hahahah...”
       “Diam!!” Laras bangkit dari tempat duduknya.Matanya menatap wanita didepannya dengan penuh amarah.”Jaga ucapanmu! semua yang kau katakan itu tidak benar. Mereka peduli kepadaku, mereka memenuhi semua keinginanku, mereka menyayangiku. Aku adalah anak satu-satunya, dan akulah yang akan mewarisi semua harta mereka.”
        “Oh ya? sekarang aku tanya, kalau mereka peduli padamu mengapa mereka selalu sibuk bekerja dan tak pernah meluangkan waktunya untukmu? Pernahkah mereka menanyakan keadaanmu?pernahkah mereka mengajakmu makan malam bersama? pernahkah mereka menanyakan bagaimana kehidupanmu di kampus?.” Laras hanya diam merenungi kata-kata wanita itu.Wanita itu melanjutkan,
          “Mereka memang memenuhi semua keinginanmu, uang, mobil mewah, pakaian, perhiasan, barang barang mahal dan bermerek,bahkan jika kau ingin sebuah pulau mungkin mereka pun akan membelikannya.Tapi pernahkah mereka memberi sedikit perhatiannya padamu?,” wanita itu menggeleng.
“Kalau mereka menyayangimu, mengapa ayahmu harus memberi makan anak istrinya dengan uang haram hasil korupsi? apakah gajinya sebagai anggota DPR tidak cukup untuk memenuhi kebutuhan kalian?, kalau mereka menyayangimu, mengapa ibumu meninggalkanmu dan lebih memilih pergi dengan selingkuhanya?.”
        Laras masih tetap diam.Mulutnya tak mengeluarkan sepatah katapun untuk menjawab pertanyaan- pertanyaan itu. Hanya matanya yang berbicara lewat sebutir air mata yang kini perlahan menuruni pipinya membentuk sebuah aliran sungai kecil di wajahnya.
        “Laras, tak ada yang abadi di dunia ini. Semua hanyalah titipan dari Tuhan. Pernahkah kau berpikir bahwa semua yang kau miliki akan hilang dalam waktu singkat?, pernahkah kau berpikir siapa yang memberimu kehidupan di dunia ini? Pernahkah kau bersyukur ? pernahkah kau mengingat Allah yang telah memberimu segala kenikmatan di dunia ini?.Tidak.kau hanya sibuk berfoya foya.” Laras menatap wanita itu dengan tajam.
        “Tuhan? Allah? bersyukur?, orangtuaku tidak pernah mengajarkanku tentang itu.Katanya Tuhan itu maha adil, tapi kenapa Ia merampas semua yang aku miliki?. Aku telah kehilangan semuanya, jadi untuk apa aku harus bersyukur kepadaNya?. Katanya Dia selalu menolong umatnya yang kesulitan, tapi dimana Ia sekarang? kenapa ia membiarkanku seperti ini?,” kini Laras yang bertanya pada wanita itu.Wanita itu kembali terssenyum sinis pada Laras.
        “Laras, bukan Tuhan yang mencarimu tapi kaulah yang harus mencariNya.”
       Laras kini maju perlahan lahan mendekati wanita itu. Matanya tak lepas memandangi wanita itu. Bibirnya gemetar, nafasnya naik turun karena menahan amarah sejak tadi.
       “Siapa kau sebenarnya?, cepat katakan!” wanita itu menyeringai lebar.Pandanganya mengejek Laras.
       “Siapa aku?hahaha....kenapa kau menanyakan itu?, aku adalah kau, dan kau adalah aku.Aku adalah Laras, aku adalah anak yang tidak diharapkan orangtua, aku adalah anak yang terbuang. Sama sepertimu Laras, kau adalah anak yang dibuang!. Kau adalah anak yang dicampakkan!!. Hahahaha.....”
Tawa wanita itu terdengar makin keras.Kata-kata anak terbuabg terus terdengar berulang-ulang di telinga Laras. Makin lama suara wanita itu makin keras. Laras menutup kedua telinganya. Wajahnya dipenuhi kemarahan sekaligus ketakutan.
       “Tidak... tidak! Aku bukan anak yang dibuang!. Pergi kau! pergi dari hadapanku!” teriak Laras.Wanita itu masih tertawa-tawa dengan pandangan mengejek ke arahnya.Laras benar-benar sudah tidak tahan lagi menahan amarah yang meluap luap didadanya. Tanganya meraih sebuah vas bunga dihadapanya, lalu ia lemparkan ke arah wanita itu.
       PRANGGG!!
      Cermin di hadapan Laras hancur berkeping-keping.Namun suara tawa dan kata-kata wanita itu masih terdengar dikepalanya.
      “Tidak! diam kau! Pergi!! pergi!!” kata Laras sambil melemparkam apapun ke arah ke arah bingkai cermin yang telah hancur itu.

       Paman dan bibi Laras datang karena mendengar keributan yang terjadi. Paman Laras berusaha menenangkan Laras namun Laras tetap mencoba berontak dan berteriak marah.
       “Laras, tenang Laras, tenangkan dirimu!'' kata pamannya sambil terus berusaha mengendalikan Laras yang terus berusaha melepaskan diri.
      “Ya Allah Laras kenapa kamu jadi begini sayang?” kata Alena, bibi laras sambil menangis.
       “Alena, cepat panggilkan dokter Wisnu!” kata pamannya. Alena segera keluar untuk melaksanakan perintah suaminya itu.


                                                                 ***

        Laras tertidur dengan tenang.Beberapa jam yang lalu dokter wisnu telah menyuntikan obat tidur ke tubuhnya.Alena dan Feri, suaminya duduk di sisi ranjang tempat Laras terbaring. Alena tak bisa menahan air matanya melihat keadaan keponakannya yang dulu begitu ceria dan percaya diri. Tapi kini terpuruk oleh semua musibah yang menimpanya bertubi-tubi. Suaminya berusaha menenangkanya dengan mengelus pundaknya. Perlahan lahan Feri mengajak Alena keluar dari kamar itu. Meninggalkan Laras bersama dengan mimpi-mimpinya.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar