Laras duduk diam
dikursinya. Tidak ada sepatah katapun terucap dari bibirnya. Kepalanya
terus menunduk seakan ada beban berat di
kepalanya. Tubuhnya tampak tidak terawat. Rambutnya yang dulu selalu
terurai indah kini tampak kusam dan berantakan. Matanya tampak sayu,
pandanganya kosong, tak ada keceriaan sedikitpun diwajahnya.Tiba-tiba
terdengar sebuah suara.
“Huh! Jadi beginilah takdir
seorang Ayu Larasati Purnomo?, menyedihkan.” kata sosok wanita yang
kini ada di hadapan Laras. Laras mengangkat kepalanya perlahan lahan.
Ia mendapati sesosok wanita dihadapannnya. Wajahnya sangat mirip
denganya. Matanya menatap Laras dengan pandangan mengejek. Wanita itu
tersenyum sinis.
“Mana Laras yang dulu selalu
mendapatkan apapun yang diinginkan, Laras yang selalu bangga dengan
kekayaan orangtuanya, Laras yang selalu memikirkan diri sendiri, Laras yang populer di kampus, Laras yang...”
“cukup!!, siapa kau? tau apa
kau tentang aku?.” Laras berteriak dengan marah. Wanita itu kembali
tertawa.
“Siapa aku?kenapa kau ingin
tau siapa aku ini?. Jadi seperti inilah kau sekarang?. Mana kekayaan
yang dulu begitu kau bangga banggakan itu?. Mana sahabat-sahabatmu
yang dulu selalu membelamu?. Mana kekasihmu yang dulu selalu
melontarkan kata kata cinta untukmu?. Tidak ada. Mereka semua
meninggalkanmu, mereka tak pernah tulus kepadamu, mereka hanya
memanfaatkanmu. Kau sekarang sendirian. Tak punya siapapun.hahaha...”
“Tidak!, mereka tidak
meninggalkanku, mereka hanya...hanya....” kata Laras terbata-bata.
“Hanya apa? bahkan
orangtuamupun meninggalkanmu, mungkin kau memang anak yang tidak
diharapkan untuk lahir kedunia, hahahah...”
“Diam!!” Laras bangkit dari
tempat duduknya.Matanya menatap wanita didepannya dengan penuh
amarah.”Jaga ucapanmu! semua yang kau katakan itu tidak benar.
Mereka peduli kepadaku, mereka memenuhi semua keinginanku, mereka
menyayangiku. Aku adalah anak satu-satunya, dan akulah yang akan
mewarisi semua harta mereka.”
“Oh ya? sekarang aku tanya,
kalau mereka peduli padamu mengapa mereka selalu sibuk bekerja dan
tak pernah meluangkan waktunya untukmu? Pernahkah mereka menanyakan
keadaanmu?pernahkah mereka mengajakmu makan malam bersama? pernahkah
mereka menanyakan bagaimana kehidupanmu di kampus?.” Laras hanya
diam merenungi kata-kata wanita itu.Wanita itu melanjutkan,
“Mereka memang memenuhi semua
keinginanmu, uang, mobil mewah, pakaian, perhiasan, barang barang
mahal dan bermerek,bahkan jika kau ingin sebuah pulau mungkin mereka
pun akan membelikannya.Tapi pernahkah mereka memberi sedikit
perhatiannya padamu?,” wanita itu menggeleng.
“Kalau mereka menyayangimu,
mengapa ayahmu harus memberi makan anak istrinya dengan uang haram
hasil korupsi? apakah gajinya sebagai anggota DPR tidak cukup untuk
memenuhi kebutuhan kalian?, kalau mereka menyayangimu, mengapa ibumu
meninggalkanmu dan lebih memilih pergi dengan selingkuhanya?.”
Laras masih tetap diam.Mulutnya
tak mengeluarkan sepatah katapun untuk menjawab pertanyaan-
pertanyaan itu. Hanya matanya yang berbicara lewat sebutir air mata
yang kini perlahan menuruni pipinya membentuk sebuah aliran sungai
kecil di wajahnya.
“Laras, tak ada yang abadi di
dunia ini. Semua hanyalah titipan dari Tuhan. Pernahkah kau berpikir
bahwa semua yang kau miliki akan hilang dalam waktu singkat?,
pernahkah kau berpikir siapa yang memberimu kehidupan di dunia ini?
Pernahkah kau bersyukur ? pernahkah kau mengingat Allah yang telah
memberimu segala kenikmatan di dunia ini?.Tidak.kau hanya sibuk
berfoya foya.” Laras menatap wanita itu dengan tajam.
“Tuhan? Allah? bersyukur?,
orangtuaku tidak pernah mengajarkanku tentang itu.Katanya Tuhan itu
maha adil, tapi kenapa Ia merampas semua yang aku miliki?. Aku telah
kehilangan semuanya, jadi untuk apa aku harus bersyukur kepadaNya?.
Katanya Dia selalu menolong umatnya yang kesulitan, tapi dimana Ia
sekarang? kenapa ia membiarkanku seperti ini?,” kini Laras yang
bertanya pada wanita itu.Wanita itu kembali terssenyum sinis pada
Laras.
“Laras, bukan Tuhan yang
mencarimu tapi kaulah yang harus mencariNya.”
Laras kini maju perlahan lahan
mendekati wanita itu. Matanya tak lepas memandangi wanita itu.
Bibirnya gemetar, nafasnya naik turun karena menahan amarah sejak
tadi.
“Siapa kau sebenarnya?, cepat
katakan!” wanita itu menyeringai lebar.Pandanganya mengejek Laras.
“Siapa aku?hahaha....kenapa
kau menanyakan itu?, aku adalah kau, dan kau adalah aku.Aku adalah
Laras, aku adalah anak yang tidak diharapkan orangtua, aku adalah
anak yang terbuang. Sama sepertimu Laras, kau adalah anak yang
dibuang!. Kau adalah anak yang dicampakkan!!. Hahahaha.....”
Tawa wanita itu terdengar makin
keras.Kata-kata anak terbuabg terus terdengar berulang-ulang di
telinga Laras. Makin lama suara wanita itu makin keras. Laras menutup
kedua telinganya. Wajahnya dipenuhi kemarahan sekaligus ketakutan.
“Tidak... tidak! Aku bukan
anak yang dibuang!. Pergi kau! pergi dari hadapanku!” teriak
Laras.Wanita itu masih tertawa-tawa dengan pandangan mengejek ke
arahnya.Laras benar-benar sudah tidak tahan lagi menahan amarah yang
meluap luap didadanya. Tanganya meraih sebuah vas bunga dihadapanya,
lalu ia lemparkan ke arah wanita itu.
PRANGGG!!
Cermin di hadapan Laras hancur
berkeping-keping.Namun suara tawa dan kata-kata wanita itu masih
terdengar dikepalanya.
“Tidak! diam kau! Pergi!!
pergi!!” kata Laras sambil melemparkam apapun ke arah ke arah
bingkai cermin yang telah hancur itu.
Paman dan bibi Laras datang
karena mendengar keributan yang terjadi. Paman Laras berusaha
menenangkan Laras namun Laras tetap mencoba berontak dan berteriak
marah.
“Laras, tenang Laras,
tenangkan dirimu!'' kata pamannya sambil terus berusaha mengendalikan
Laras yang terus berusaha melepaskan diri.
“Ya Allah Laras kenapa kamu
jadi begini sayang?” kata Alena, bibi laras sambil menangis.
“Alena, cepat panggilkan
dokter Wisnu!” kata pamannya. Alena segera keluar untuk
melaksanakan perintah suaminya itu.
***
Laras tertidur dengan
tenang.Beberapa jam yang lalu dokter wisnu telah menyuntikan obat
tidur ke tubuhnya.Alena dan Feri, suaminya duduk di sisi ranjang
tempat Laras terbaring. Alena tak bisa menahan air matanya melihat
keadaan keponakannya yang dulu begitu ceria dan percaya diri. Tapi
kini terpuruk oleh semua musibah yang menimpanya bertubi-tubi.
Suaminya berusaha menenangkanya dengan mengelus pundaknya. Perlahan
lahan Feri mengajak Alena keluar dari kamar itu. Meninggalkan Laras
bersama dengan mimpi-mimpinya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar